Hari ini adalah hari yang ku mulai dengan kegiatan baru ku..
Akhirnya, aku sampai di semester 8 tepat saatnya ku harus
mulai mengerjakan skripsiku.
“Hmmm.. kayaknya
enak nih ya gue ke café, udah lama juga ngga ke café”
“Loh lo mau ke café,
Nat? engga jadi kerumah gue aja nih?”
“Engga deh Ta,
kayaknya gue lagi kangen nih sama kopi di café biasa”
“Ooohh.. yaudah
kalo gitu. See you Tomorrow”
“Byee..”
Terkadang, aku lebih suka duduk dan menikmati kopi
kesukaanku di café langganan sendirian.
Aku suka melihat bagaimana orang-orang menikmati kopi
yang mereka minum.
Sudah hampir 5 Bulan lamanya aku tidak datang ke café itu
karena aku masih sibuk dengan dosen pembimbing ku yang super rewel.
“Selamat datang di Smile
Café… mau pesen apa mba?”
“Hmmm… aku mau
pesen Coffee Latte pake sedikit syrup Hazelnut ya mas sama Slice Red Velvet deh
boleh”
“Oke siap kak,
pesanan nanti akan kita antar ya..”
“Sip mas..”
Aku selalu mempunyai tempat favorite di café itu, meja
kecil dekat jendela selalu menjadi tempat yang paling aku suka apalagi ketika
hujan sedang turun membasahi jendela.
Café sore itu tidak terlalu ramai, suasananya cukup
tenang. Pas untukku mengerjakan skripsi. Setelah pesananku datang, aku mulai
mengerjakan skripsiku. Tidak terasa sudah dua jam aku asik dengan materi
skripsi yang sedang ku buat. Lama kelamaan aku capek juga, dan akhirnya aku
memutuskan untuk mematikan laptopku.
Satu per satu aku mulai memperhatikan Café itu. Tak
banyak yang berubah, suasana dan letak meja pun masih sama hanya mungkin saja
ditambah beberapa lukisan di sudut – sudut dindingnya.
“Eh… tunggu dulu
deh, kayaknya ada barista baru. Hmmmm sejak kapan dia ada disitu? Kok ganteng
sih ya ampuuuunnnn…” *gumamku dalam hati*
Pria dengan rambut gondrong se-pundak dan memiliki kumis
tipis serta senyum manis yang menambah nilai ketampanan wajahnya itu kini telah
berhasil mencuri perhatianku.
Selesai aku membayar pesananku tadi, aku bergegas pulang
karena waktu sudah menunjukan pukul 19.35 WIB.
…
Sesampainya dirumah, aku masih saja terus terbayang wajah
barista tadi. Sungguh senyumnya itu tak bisa enyah dari pikiranku, padahal aku
belum ber-interaksi langsung dengannya.
“Ah kacau! Aku jadi
penasaran sama barista itu. Fix, besok aku harus cari tau siapa dia”
Keesokan harinya aku kembali ke café itu, seperti biasa
aku sendirian, maklum single kemana-mana suka sendiri hahaha *terkadang
menertawakan diri sendiri itu seru juga*
“Selamat datang di
Smile Café… Eh mba nya yang kemaren ya? Balik lagi, kangen saya ya?” *canda
mas mas café*
“Iya mas, saya
kangen sama tukang parkir depan tapi bukan kangen sama mas nya hahaha”
“Yeh.. si mba bisa
aja.. mau pesen apa mba?”
“Americano deh mas
satu…”
“Sip mba, nanti
akan saya antar yaa…”
Sepertinya hari ini aku tepat sekali ke café ini lagi,
barista yang kemarin ada lagi disini. Dengan seragam hitam khas café itu dan
aprone kulit berwarna coklat serta rambut gondrongnya yang setengah terikat itu
benar-benar mengalihkan perhatianku.
“Ini mba
pesanannya.. Mba bengong aja.. “
“Eh iya mas,
makasih ya. Oh ya Barista yang gondrong itu baru ya? Aku kok baru liat dia..”
“Iya mba, yaa baru
sekitar sebulan disini. Kenapa mba? Mau saya kenalin?”
“Eh engga mas, aku
nanya aja soalnya masih asing aja dia disini hehehe” *yaiyalah mana mau gue
terang – terangan minta dikenalin sama dia, kan gengsi juga hahahaha*
Semenjak saat itu, aku jadi rutin ke café minimal satu
minggu sekali jika alasanku hanya mengerjakan skripsi disana. Sudah sebulan aku
sering kesitu dan aku masih belum tau siapa namanya.
Akhirnya aku nekat menulis nomor telfon ku di selembar
tissue yang ada di meja. Karena akhir-akhir ini dia juga suka membantu
membersihkan meja jika pengunjung sudah pulang, barang kali mejaku adalah meja
yang beruntung.
...
Hari berganti begitu saja, aku sengaja tidak datang
kesana karena aku juga lebih sering menghabiskan waktu di kampus akhir – akhir
ini. Walaupun sebenernya aku kepikiran pria itu karena sudah 5 hari semenjak kejadian
itu tidak ada yang menghubungiku dengan nomor asing. Akhirnya di hari ketujuh aku memutuskan
untuk kembali ke café itu lagi sepulang aku dari Gereja.
“Selamat datang di
Smile Café, mau pesan apa mba Natasha?”
“Loh kok mas tau
nama aku?”
“Iya, waktu saya
beresin meja mba terus saya nemu tissue ada tulisan nama sama nomor telfon mba
hehehe tadinya saya mau sms mba, tapi saya tau sebenernya tissue itu buat
siapa”
*Damn..! mampus gue ternyata gue salah orang aduuuuhhh
maluuuuu…*
“Mas, jangan bilang
siapa – siapa ya pliiissss aku maluuuuu..” *dengan nada setengah berbisik*
“Hehe tenang aja
mba, oh iya bytheway nama barista itu Chandra.”
“Wah mas, makasi ya
udah ngga penasaran aku hehe”
“Iya mba nanti aku
bantuin mba biar kenal sama dia”
“Duh mas gausah deh
jadi ngerepotin aku”
“Tenang aja mba,
semua aman ditangan saya..”
“Terimakasih ya
mas, nanti jangan lupa anter pesenan saya ya”
Sebenarnya ada rasa malu sekaligus senang juga, akhirnya
setelah sekian lama aku tau siapa namanya.
Aku masih asik mengerjakan skripsiku sesekali memikirkan
barista itu. Sampai pada akhirnya berdiri seorang laki-laki didepan mejaku
sambal meletakkan secangkir kopi yang aku pesan tadi. Astaga! Barista itu yang
mengantarkan kopiku.
“Eh, makasih ya mas
kopinya..”
Pria itu tersenyum menatapku seolah mengisyaratkan kata
“iya” lalu ia pergi kembali ke dalam.
Aneh, mengapa iya hanya tersenyum? Tidak seperti karyawan
yang lainnya.
“Ah, mungkin aja
dia orangnya emang gitu kali ya. Dingin…” *gumamku dalam hati*
Minggu berikutnya aku datang lagi ke café hari jumat
siang karena hari ini aku bisa pulang cepat dari kampus. Seperti biasa, aku
duduk di meja favorite-ku. Tidak ada yang spesial hari ini setelah setengah jam
aku duduk dan menikmati minuman serta
makananku.
Tiba-tiba masuk seorang pria, barista itu. Ia datang
menggunakan sarung dan peci, sepertinya ia habis sholat jumat. Pria itu
tersenyum kearahku. Tuhan… ternyata kita berbeda. Apakah aku tak bisa terus
mengaguminya karena kita berbeda??
Tak lama setelah itu aku pulang, karena aku ada urusan
dirumah. Di dalam mobil aku terus memikirkan pria itu dan perbedaan kita. Tiba
– Tiba radio memutarkan lagu perbedaan milik Ari Lasso.
Segala
Perbedaan Itu
Membuatmu
Jauh Dariku
Biarlah
Sang Waktu Menjaga Cintamu
Nyalakanlah
Api Cinta
Membakar
Ragu Yang Ada
Ku
Kan Selalu Setia
Hingga
Saat Tiba…
Ya Tuhan… saat aku mulai tertarik untuk mengenalnya lebih
dari ini, aku harus menemukan perbedaan antara kita. Aku takut jika dia yang
tidak bisa menerima perbedaan ini, bukan aku.
Ketika aku sudah berbaring di kamarku dan ingin tidur,
ada sms masuk di ponsel ku.
Candra:
Hallo.. Natasha..
Salam kenal, ini aku Chandra, Barista yang di café itu. Aku ganggu kamu ngga
malem- malem sms gini?
Natasha:
Eh Chandra, salam
kenal juga. Loh tau nomor aku dari mana?
Chandra:
Itu loooh … dari
mas mas yang suka ngobrol sama kamu tiap kamu lagi pesen kopi itu yang ngasih
tau aku hehe
Kampret! Kenapa nomor aku dikasih tau beneran sih sama
dia, duh aku malu jadinya. Tapi ngga apa – apa sih aku jadi seneng akhirnya dia
tau nomor aku.
Natasha:
Oh mas mas itu
hahaha
Chandra:
Kapan ke café lagi?
Kalo ke café nanti kita ngobrol ngobrol aja ya biar enak.
Natasha:
Sepertinya besok
aku kesana setelah pulang dari Gereja. Oke, see you…
Sial! Aku jadi tidak bisa tidur semalaman karena terus
kepikiran takut aku terlihat seperti orang bodoh didepannya karena grogi.
Akhirnya setelah pulang dari Gereja aku menepati janjiku dengan Chandra untuk
datang ke café.
Chandra terlihat masih sibuk meracik kopi , aku sengaja tidak memesan
minum, pikirku nanti saja lagipula aku juga masih bingung mau pesan apa. Aku
langsung duduk di meja favorite ku yang kebetulan terlihat kosong. Sambil
menatap kearah jendela sepertinya langit mulai terlihat mendung.
Tiba – tiba Chandra sudah duduk di depan ku dengan
menyodorkan segelas Hot Americano. Aroma kopi buatannya itu selalu membangunkan
semangat dan mood ku .
“Ah baik sekali..
terimakasih yaa….”
Chandra hanya tersenyum . Agak aneh sebenarnya mengapa dia
selalu tersenyum setiap kali aku mengucapkan terimakasih saat diantarkan kopi.
Tiba – tiba Chandra mengeluarkan sebuah buku kecil yaa bisa dibilang notes dengan
cover hitam dan sebuah pulpen. Lalu ia menulis pada lembar kosong di notes
itu..
- Maaf aku hanya bisa berbicara hanya dengan
kertas ini, karena aku bisu sejak kecil.. aku bisa mendengarmu namun aku tidak
bisa berbicara saja. tidak apa – apa kan?
Sebenarnya aku terkejut dengan apa yang baru saja Chandra
tulis, jadi ini penyebab mengapa iya tak pernah terlihat berbicara kepada
siapapun termasuk dengan ku. Lagi, Tuhan aku dan dia mengapa sangatlah berbeda?
“Iya Chandra, tidak
apa – apa. Maaf, aku tidak tau sebelumnya jika kamu tidak bisa berbicara.”
- Tidak apa, aku
mengerti. How’s your day? Gimana tadi di gereja? Menyenangkan?”
“Seperti biasa, paling
aku hanya menghabiskan waktu selama 3 jam setiap minggunya disana. But, I’m so
Happy.”
Waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa aku dan Chandra
sudah menghabiskan waktu hampir 4 jam. Sesekali Chandra mengecek pesanan apakah
masih aman jika ia tinggalkan, beruntung café saat itu tidak terlalu ramai
karena diluar sedang hujan deras.
Selama 4 jam berlangsung, aku tidak pernah merasa terganggu
ataupun bosan dengan Chandra. Ia pria yang ramah, tampan, baik dan juga
berkharisma walaupun ia memiliki kekurangan. Justru aku semakin tertarik untuk
mengenalnya lebih jauh lagi.
“Chandra sepertinya
aku sudah harus pulang karena aku ada janji sama mamaku kalua malam ini mau
mengantarkannya ke mall untuk belanja”
-Baiklah Nat, tidak
apa. Jika masih ada waktu lagi, kapan kapan mampir ke café lagi ya.. Nice to
meet you..
“Pasti, aku pasti akan
kesini lagi. Kan skripsiku belum selesai hahaha.. Oke, Nice to meet you too
Chand! Byeee..”
Sejak itu, Aku jadi lebih sering ke café untuk sekedar
mengerjakan skripsi atau pun “ngobrol” dengan Chandra. Hari demi hari.. Waktu
demi waktu… Aku jadi lebih banyak dan lebih jauh mengenalnya begitupun dengan
dia. Aku perlahan mulai mempelajari bahasa isyarat agar bisa berkomunikasi dengan Chandra tidak hanya melalui tulisan tulisan di notes nya.
Jelas terlihat diantara kami tidak pernah ada masalah
tentang perbedaan yang ada dari segi apapun. Komunikasi antara aku dengan dia
pun berjalan dengan lancar lancar saja, kadang kita smsan atau video call jika memang
sempat. Semua berjalan lancar, bahkan terkadang aku suka bertemu dengannya di
tempat lain untuk sekedar makan malam, nonton, ataupun jalan-jalan keliling Jakarta.
Walaupun jika berkomunikasi secara langsung, dia pasti menggunakan notes nya.
Sampai akhirnya skripsiku selesai dan aku pun wisuda, dia
benar – benar menemani perjalan skripsiku. Pantas saja, aku selalu semangat
dengan skripsi yang bagi sebagian orang itu adalah penderitaan mahasiswa
tingkat akhir.
- Oh iya Nat, aku mau
kasih tau kamu satu hal.
“Iya, ada apa Chand?”
- Sebenarnya, Smile Café
itu adalah bisnis keluarga ku.
“Oh yaa?? lalu kenapa
kamu jadi barista di café itu?”
- Menjadi barista
adalah kesukaanku, aku senang bisa membuat orang tersenyum setiap kali mereka
menyeruput kopi buatanku. Makanya, itu kenapa namanya “smile Café” karena orang
akan selalu tersenyum setelah minum kopi disitu karena bahagia bisa menikmati
hidup dengan waktu yang singkat, seperti minum kopi kesukaan mereka.
Chandra, lagi dan lagi dia membuatku kagum. Walaupun dia adalah
orang yang cukup kaya dan mapan, dia tidak pernah sombong ataupun gengsi untuk
menempatkan dirinya dibawah. Aku selalu suka bagaimana caranya dia bekerja,
untuk membuat orang – orang merasa bahagia berada di café itu. Termasuk aku.
Sudah bulan ke-9 aku dekat dengan Chandra, usia kita memang
terpaut perbedaan 6 tahun. Dia jauh lebih dewasa dibandingkan aku. Sepertinya
aku mulai jatuh cinta dengan Chandra, tapi aku tidak pernah berani untuk
mengungkapkannya, aku fikir biarlah ini aku simpan baik-baik.
Hampir dua minggu tiba- tiba Chandra tidak ada kabar, aku
mencarinya ke café juga tidak ada yang mau memberitahuku dia berada dimana.
Tiba - Tiba ada sms masuk dari Chandra..
Chandra:
Nat, How are you? Maaf
sekali ya aku tidak ada kabar belakangan ini. Apakah kamu sibuk sore ini? Aku ingin
bertemu, sebentar saja barangkali. Ada yang ingin aku bicarakan. Kamu langsung
saja ke café ya aku tunggu.See you..
Ada apa ini? Dia tiba – tiba sms lalu ingin membicarakan
suatu hal, sepertinya hal itu benar – benar penting.
Setibanya di café, aku menghampiri Chandra yang duduk di
meja favorite-ku. Kenapa meja itu selalu punya banyak sekali cerita ya Tuhan…
“Hai Chand, sudah
lama ya? Maaf jalanan ibu kota hari ini jahat sekali. Macet pak hehehe”
- Belum kok, baru
sekitar 15 menit aku disini. Kamu mau pesan apa? Nanti biar aku buatkan.
“Hmmm… Double Espresso
boleh deh satu ya.. terimakasih.. “
- Wait yah, I’ll be
back.
Setelah secangkir double espresso itu mendarat di mejaku,
Chandra menatapku serius. Sepertinya benar, ada yang ingin ia sampaikan .
“Tadi katamu ada yang ingin kamu bicarakan denganku, ada
apa Chand? Sepertinya serius sekali.”
-Nat, sepertinya kedekatan kita hanya bisa sampai sini
saja. *Chandra menatapku nanar*
“Loh… Loh.. ada apa ini? Kenapa tiba – tiba kamu mau
menjauhiku?”
-Sebenarnya, kenapa aku menghilang dua minggu belakangan
ini karena aku sedang mengurus pernikahanku, Minggu besok aku menikah. Jujur,
ini bukan keinginanku. Aku dijodohkan oleh orang tuaku. Aku tidak bisa menolak
mereka, aku sudah mencoba tapi aku gagal.
“Ta.. Tapi… aku mulai mencintaimu, Chand!” *air mataku
sudah tidak terbendung lagi mendengarnya*
Hatiku hancur.. benar – benar hancur. Aku tidak menyangka
akan seperti ini jadinya, tapi aku menghargai keputusan Chandra untuk
menjalankan perintah orang tua nya, mungkin sebenarnya bisa saja dia pergi dari
rumah untuk menolak perjodohan itu. Tapi aku sangat mengenal Chandra, dia
bukanlah tipe orang pembangkang seperti itu. Apalagi didalam agamanya tidak
diajarkan untuk seperti itu. Chandra terlalu baik.
- Maaf, Nat. Aku
tau ini sangat menyakitimu, aku tidak bermaksud begitu tapi aku juga tidak bisa
berbuat banyak.
“Baiklah aku
mengerti, jika itu memang keputusanmu. Aku hargai itu, semoga kamu bisa bahagia
dengan wanita itu.”
Ada kecewa dalam
diriku yang tergambar jelas saat aku menatap Chandra, begitupun dengannya. Ia
seperti menyesali hal ini karena baginya, ia telah menyakitiku.
- Kamu baik-baik
ya, maaf jika aku menyakitimu. Terimakasih atas segalanya. Selama aku
mengenalmu, aku bahagia. *Chandra mengusap kepalaku lembut dan aku hanya
membalas senyum tanpa bisa berkata – kata apapun lagi*
Setelah itu, aku sengaja tidak hadir dalam pesta
pernikahannya. Aku tidak sanggup melihat semuanya terjadi didepan mataku.
Lalu, beberapa bulan setelah itu aku memutuskan untuk pindah ke Jerman melanjutkan pendidikan S2-ku disana hingga selesai dan aku kerja paruh waktu untuk mengisi waktu selain kuliah.
Lalu, beberapa bulan setelah itu aku memutuskan untuk pindah ke Jerman melanjutkan pendidikan S2-ku disana hingga selesai dan aku kerja paruh waktu untuk mengisi waktu selain kuliah.
Ini adalah langkah yang kulakukan untuk melupakan
Chandra, walaupun sejujurnya setelah tujuh tahun aku di Jerman rasanya sangat
sulit untuk benar- benar menghapus Chandra dari pikiranku. Setiap aku berusaha
untuk melupakannya, aku selalu teringat masa – masa indah kita. Perbedaan yang
membuat aku berani untuk terus mendekati Chandra, semua hal tentang Chandra masih
tergambar jelas di memori pikiran dan hatiku.
Tuhan… mengapa
sulit sekali melupakannya? Padahal jelas – jelas kami mempunyai perbedaan yang
harusnya itu adalah alasan yang paling kuat untuk dapat melupakannya.
…
Hari ini, aku kembali ke Jakarta. Karena rasanya percuma
saja jika aku di Jerman tidak bisa melupakan Chandra. Lagipula aku sangat
merindukan orang tuaku.
Satu minggu setelah aku sampai di Jakarta, aku
memberanikan diri untuk datang ke café itu. Sungguh bodoh memang aku, malah
semakin membuka lebar pintu mengenang masa – masa dengan Chandra. Namun hati
dan pikiran ini tidak bisa terus menerus berdusta bahwa aku sangat merindukan
pria itu beserta segala kenangannya.
Aku masuk dan memesan segelas Double Espresso, persis
seperti kopi terakhir yang aku minum dengan Chandra. Tempat itu selalu menjadi
tempat yang sangat penuh kenangan. Beruntung meja favorite-ku kosong, jadi
langsung saja aku duduk disitu.
“Ini Nat kopinya..
aku fikir kamu tidak akan pernah kembali ke café ini lagi sejak kejadian waktu
itu.”
Terkejut bukan main, Chandra yang mengantarkan minumanku,
dan… dia bisa bicara? Astaga Tuhan, apalagi ini?
“Loh.. Chandra..
kamu…”
“Kenapa? Kaget ya aku yang mengantarkan kopimu? Tadi mas –
mas kasir yang dulu sering meledekmu sekarang dia sudah menjadi manager disini,
dan dia bilang bahwa kamu datang, jadi apa salahnya kalau aku yang menyambutmu”
Aku masih sangat terkejut menatap Chandra, dari segi
penampilan dia tidak ada yang berubah. Masih sangat persis seperti dulu, hanya
saja sekarang dia benar – benar bisa bicara.
“Kamu kenapa menatapku seperti itu? Masih kaget ya? Hahaha
kaget kalau sekarang aku bisa bicara? Mau aku ceritain gimana akhirnya aku bisa seperti ini?”
Aku hanya bisa mengangguk mendengarnya, tanpa benar –
benar mengeluarkan sepatah katapun.
“Jadi, dua tahun setelah pernikahan itu istriku hamil,
lalu ia meninggal saat melahirkan. Keduanya tidak bisa diselamatkan karena
kondisinya sangat lemah pada saat itu. Lalu aku kehilangan mereka. Butuh waktu
yang cukup lama untuk aku bangkit dari kehilangan itu. Akhirnya aku memutuskan
untuk pergi ke luar negeri dan operasi pita suara, kira-kira setahun aku
disana dan menyempurnakan operasiku. Karena aku tau, sakitku masih bisa
disembuhkan makanya aku memberanikan diri untuk operasi pita suara walaupun
kemungkinan untuk bisa kembali itu sangat kecil. Lalu setelah itu aku kembali
kesini untuk mencarimu, jujur saja aku tidak pernah berniat melupakanmu. Kamu selalu
ada ditempat lain di hatiku, Nat.”
“Lalu?”
Luar biasa sekali, Chandra memang selalu punya sejuta
cara untuk membuatku terkejut. Dari mulai awal pertama aku melihatnya sampai
detik ini pun rasanya aku masih saja selalu dibuat terkejut olehnya.
“Lalu, aku mencarimu kerumah. Mama mu bilang, kamu sedang
melanjutkan pendidikan dan bekerja di Jerman. Tadinya mama mu mau memberikan
contact-mu, tapi aku fikir... aku tidak akan menggagumu disana, aku yakin jika
suatu saat nanti kamu akan kembali datang ke café ini entah untuk apa dan
bersama siapa.”
“Sungguh, kamu bisa menebak segala hal tentangku Chandra.
Kamu sangat yakin bahwa aku akan kembali kesini dan kamu tau aku benar – benar tidak
bisa melupakanmu. Tapi, kita masih tetap saja berbeda Chandra..”
“Natasha.. Tuhan tidak pernah mengajarkan kita
untuk membenci ataupun putus asa dalam segala perbedaan. Aku yakin, kita
dipertemukan disini kembali karena perbedaan itu.. Karena.. aku sesungguhnya
mencintaimu Nat…” *Chandra mengecup keningku*
Tuhan, berikan aku kekuatan sekali lagi untuk menatap
dalam matanya dan mendengarkan setiap ucapannya.
“You know, I still love you too Chandra..”
Sejak saat itu hubungan kami pun menjadi sangat membaik. Dan
sampai pada saatnya, kami pun menikah. Dengan perbedaan yang masih tetap ada.
Karena aku dan Chandra yakin bahwa, kita dipersatukan
oleh perbedaan. Tuhan tidak pernah mengajarkan kita menyerah dan benci
pada perbedaan. Kita memang berbeda, namun pada cinta, kita sama.
*by azkagasya
*by azkagasya