Sunday, November 27, 2016

Gedung Asmara


kita membangun asmara
ibaratkan saja seperti membangun sebuah gedung yang sempurna
tawa kita adalah bahagia
sedih kita adalah sebuah bahagia yang kita tunda lewat air mata

kita berdampingan
melewati semua musim dengan tabah
jingga memang warna yang kita pilih
sebagai warna yang mengindahkan kisah kita

gedung itu sudah hampir selesai kita bangun, sayang
tapi, lihatlah!
gedung itu sekarang hancur
rupanya tanpa sadar kau lupa menyisipkan bagian terpenting pada gedung itu

apa kau lupa, menyisipkan kejujuran didalamnya?

*by azkagasya

Wednesday, November 16, 2016

Kita Memang Beda. Namun Pada Cinta, Kita Sama.


Hari ini adalah hari yang ku mulai dengan kegiatan baru ku..
Akhirnya, aku sampai di semester 8 tepat saatnya ku harus mulai mengerjakan skripsiku.

“Hmmm.. kayaknya enak nih ya gue ke café, udah lama juga ngga ke café”

“Loh lo mau ke café, Nat? engga jadi kerumah gue aja nih?”

“Engga deh Ta, kayaknya gue lagi kangen nih sama kopi di café biasa”

“Ooohh.. yaudah kalo gitu. See you Tomorrow”

“Byee..”

Terkadang, aku lebih suka duduk dan menikmati kopi kesukaanku di café langganan sendirian.
Aku suka melihat bagaimana orang-orang menikmati kopi yang mereka minum.
Sudah hampir 5 Bulan lamanya aku tidak datang ke café itu karena aku masih sibuk dengan dosen pembimbing ku yang super rewel.

“Selamat datang di Smile Café… mau pesen apa mba?”

“Hmmm… aku mau pesen Coffee Latte pake sedikit syrup Hazelnut ya mas sama Slice Red Velvet deh boleh”

“Oke siap kak, pesanan nanti akan kita antar ya..”

“Sip mas..”

Aku selalu mempunyai tempat favorite di café itu, meja kecil dekat jendela selalu menjadi tempat yang paling aku suka apalagi ketika hujan sedang turun membasahi jendela.

Café sore itu tidak terlalu ramai, suasananya cukup tenang. Pas untukku mengerjakan skripsi. Setelah pesananku datang, aku mulai mengerjakan skripsiku. Tidak terasa sudah dua jam aku asik dengan materi skripsi yang sedang ku buat. Lama kelamaan aku capek juga, dan akhirnya aku memutuskan untuk mematikan laptopku.

Satu per satu aku mulai memperhatikan Café itu. Tak banyak yang berubah, suasana dan letak meja pun masih sama hanya mungkin saja ditambah beberapa lukisan di sudut – sudut dindingnya.

“Eh… tunggu dulu deh, kayaknya ada barista baru. Hmmmm sejak kapan dia ada disitu? Kok ganteng sih ya ampuuuunnnn…” *gumamku dalam hati*

Pria dengan rambut gondrong se-pundak dan memiliki kumis tipis serta senyum manis yang menambah nilai ketampanan wajahnya itu kini telah berhasil mencuri perhatianku.

Selesai aku membayar pesananku tadi, aku bergegas pulang karena waktu sudah menunjukan pukul 19.35 WIB.


Sesampainya dirumah, aku masih saja terus terbayang wajah barista tadi. Sungguh senyumnya itu tak bisa enyah dari pikiranku, padahal aku belum ber-interaksi langsung dengannya.

“Ah kacau! Aku jadi penasaran sama barista itu. Fix, besok aku harus cari tau siapa dia”

Keesokan harinya aku kembali ke café itu, seperti biasa aku sendirian, maklum single kemana-mana suka sendiri hahaha *terkadang menertawakan diri sendiri itu seru juga*

“Selamat datang di Smile Café… Eh mba nya yang kemaren ya? Balik lagi, kangen saya ya?” *canda mas mas café*

“Iya mas, saya kangen sama tukang parkir depan tapi bukan kangen sama mas nya hahaha”

“Yeh.. si mba bisa aja.. mau pesen apa mba?”

“Americano deh mas satu…”

“Sip mba, nanti akan saya antar yaa…”

Sepertinya hari ini aku tepat sekali ke café ini lagi, barista yang kemarin ada lagi disini. Dengan seragam hitam khas café itu dan aprone kulit berwarna coklat serta rambut gondrongnya yang setengah terikat itu benar-benar mengalihkan perhatianku.

“Ini mba pesanannya.. Mba bengong aja.. “

“Eh iya mas, makasih ya. Oh ya Barista yang gondrong itu baru ya? Aku kok baru liat dia..”

“Iya mba, yaa baru sekitar sebulan disini. Kenapa mba? Mau saya kenalin?”

“Eh engga mas, aku nanya aja soalnya masih asing aja dia disini hehehe” *yaiyalah mana mau gue terang – terangan minta dikenalin sama dia, kan gengsi juga hahahaha*

Semenjak saat itu, aku jadi rutin ke café minimal satu minggu sekali jika alasanku hanya mengerjakan skripsi disana. Sudah sebulan aku sering kesitu dan aku masih belum tau siapa namanya.

Akhirnya aku nekat menulis nomor telfon ku di selembar tissue yang ada di meja. Karena akhir-akhir ini dia juga suka membantu membersihkan meja jika pengunjung sudah pulang, barang kali mejaku adalah meja yang beruntung.














...

Hari berganti begitu saja, aku sengaja tidak datang kesana karena aku juga lebih sering menghabiskan waktu di kampus akhir – akhir ini. Walaupun sebenernya aku kepikiran pria itu karena sudah 5 hari semenjak kejadian itu tidak ada yang menghubungiku dengan nomor asing.  Akhirnya di hari ketujuh aku memutuskan untuk kembali ke café itu lagi sepulang aku dari Gereja.

“Selamat datang di Smile Café, mau pesan apa mba Natasha?”

“Loh kok mas tau nama aku?”

“Iya, waktu saya beresin meja mba terus saya nemu tissue ada tulisan nama sama nomor telfon mba hehehe tadinya saya mau sms mba, tapi saya tau sebenernya tissue itu buat siapa”

*Damn..! mampus gue ternyata gue salah orang aduuuuhhh maluuuuu…*

“Mas, jangan bilang siapa – siapa ya pliiissss aku maluuuuu..” *dengan nada setengah berbisik*

“Hehe tenang aja mba, oh iya bytheway nama barista itu Chandra.”

“Wah mas, makasi ya udah ngga penasaran aku hehe”

“Iya mba nanti aku bantuin mba biar kenal sama dia”

“Duh mas gausah deh jadi ngerepotin aku”

“Tenang aja mba, semua aman ditangan saya..”

“Terimakasih ya mas, nanti jangan lupa anter pesenan saya ya”

Sebenarnya ada rasa malu sekaligus senang juga, akhirnya setelah sekian lama aku tau siapa namanya.

Aku masih asik mengerjakan skripsiku sesekali memikirkan barista itu. Sampai pada akhirnya berdiri seorang laki-laki didepan mejaku sambal meletakkan secangkir kopi yang aku pesan tadi. Astaga! Barista itu yang mengantarkan kopiku.

“Eh, makasih ya mas kopinya..”

Pria itu tersenyum menatapku seolah mengisyaratkan kata “iya” lalu ia pergi kembali ke dalam.
Aneh, mengapa iya hanya tersenyum? Tidak seperti karyawan yang lainnya.

“Ah, mungkin aja dia orangnya emang gitu kali ya. Dingin…” *gumamku dalam hati*

Minggu berikutnya aku datang lagi ke café hari jumat siang karena hari ini aku bisa pulang cepat dari kampus. Seperti biasa, aku duduk di meja favorite-ku. Tidak ada yang spesial hari ini setelah setengah jam aku duduk  dan menikmati minuman serta makananku.

Tiba-tiba masuk seorang pria, barista itu. Ia datang menggunakan sarung dan peci, sepertinya ia habis sholat jumat. Pria itu tersenyum kearahku. Tuhan… ternyata kita berbeda. Apakah aku tak bisa terus mengaguminya karena kita berbeda??

Tak lama setelah itu aku pulang, karena aku ada urusan dirumah. Di dalam mobil aku terus memikirkan pria itu dan perbedaan kita. Tiba – Tiba radio memutarkan lagu perbedaan milik Ari Lasso.

Segala Perbedaan Itu
Membuatmu Jauh Dariku
Biarlah Sang Waktu Menjaga Cintamu
Nyalakanlah Api Cinta
Membakar Ragu Yang Ada
Ku Kan Selalu Setia
Hingga Saat Tiba…


Ya Tuhan… saat aku mulai tertarik untuk mengenalnya lebih dari ini, aku harus menemukan perbedaan antara kita. Aku takut jika dia yang tidak bisa menerima perbedaan ini, bukan aku.
Ketika aku sudah berbaring di kamarku dan ingin tidur, ada sms masuk di ponsel ku.

Candra:
Hallo.. Natasha.. Salam kenal, ini aku Chandra, Barista yang di café itu. Aku ganggu kamu ngga malem-  malem sms gini?

Natasha:
Eh Chandra, salam kenal juga. Loh tau nomor aku dari mana?

Chandra:
Itu loooh … dari mas mas yang suka ngobrol sama kamu tiap kamu lagi pesen kopi itu yang ngasih tau aku hehe

Kampret! Kenapa nomor aku dikasih tau beneran sih sama dia, duh aku malu jadinya. Tapi ngga apa – apa sih aku jadi seneng akhirnya dia tau nomor aku.

Natasha:
Oh mas mas itu hahaha

Chandra:
Kapan ke café lagi? Kalo ke café nanti kita ngobrol ngobrol aja ya biar enak.

Natasha:
Sepertinya besok aku kesana setelah pulang dari Gereja. Oke, see you…


Sial! Aku jadi tidak bisa tidur semalaman karena terus kepikiran takut aku terlihat seperti orang bodoh didepannya karena grogi. Akhirnya setelah pulang dari Gereja aku menepati janjiku dengan Chandra untuk datang ke café. 

Chandra terlihat masih sibuk meracik kopi , aku sengaja tidak memesan minum, pikirku nanti saja lagipula aku juga masih bingung mau pesan apa. Aku langsung duduk di meja favorite ku yang kebetulan terlihat kosong. Sambil menatap kearah jendela sepertinya langit mulai terlihat mendung.
Tiba – tiba Chandra sudah duduk di depan ku dengan menyodorkan segelas Hot Americano. Aroma kopi buatannya itu selalu membangunkan semangat dan mood ku .

“Ah baik sekali.. terimakasih yaa….”

Chandra hanya tersenyum . Agak aneh sebenarnya mengapa dia selalu tersenyum setiap kali aku mengucapkan terimakasih saat diantarkan kopi. Tiba – tiba Chandra mengeluarkan sebuah buku kecil yaa bisa dibilang notes dengan cover hitam dan sebuah pulpen. Lalu ia menulis pada lembar kosong di notes itu..

 - Maaf aku hanya bisa berbicara hanya dengan kertas ini, karena aku bisu sejak kecil.. aku bisa mendengarmu namun aku tidak bisa berbicara saja.  tidak apa – apa kan? 

Sebenarnya aku terkejut dengan apa yang baru saja Chandra tulis, jadi ini penyebab mengapa iya tak pernah terlihat berbicara kepada siapapun termasuk dengan ku. Lagi, Tuhan aku dan dia mengapa sangatlah berbeda? 

“Iya Chandra, tidak apa – apa. Maaf, aku tidak tau sebelumnya jika kamu tidak bisa berbicara.”

- Tidak apa, aku mengerti. How’s your day? Gimana tadi di gereja? Menyenangkan?”

“Seperti biasa, paling aku hanya menghabiskan waktu selama 3 jam setiap minggunya disana. But, I’m so Happy.”

Waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa aku dan Chandra sudah menghabiskan waktu hampir 4 jam. Sesekali Chandra mengecek pesanan apakah masih aman jika ia tinggalkan, beruntung café saat itu tidak terlalu ramai karena diluar sedang hujan deras. 

Selama 4 jam berlangsung, aku tidak pernah merasa terganggu ataupun bosan dengan Chandra. Ia pria yang ramah, tampan, baik dan juga berkharisma walaupun ia memiliki kekurangan. Justru aku semakin tertarik untuk mengenalnya lebih jauh lagi.

“Chandra sepertinya aku sudah harus pulang karena aku ada janji sama mamaku kalua malam ini mau mengantarkannya ke mall untuk belanja”

-Baiklah Nat, tidak apa. Jika masih ada waktu lagi, kapan kapan mampir ke café lagi ya.. Nice to meet you..

“Pasti, aku pasti akan kesini lagi. Kan skripsiku belum selesai hahaha.. Oke, Nice to meet you too Chand! Byeee..”

Sejak itu, Aku jadi lebih sering ke café untuk sekedar mengerjakan skripsi atau pun “ngobrol” dengan Chandra. Hari demi hari.. Waktu demi waktu… Aku jadi lebih banyak dan lebih jauh mengenalnya begitupun dengan dia. Aku perlahan mulai mempelajari bahasa isyarat agar bisa berkomunikasi dengan Chandra tidak hanya melalui tulisan tulisan di notes nya.

Jelas terlihat diantara kami tidak pernah ada masalah tentang perbedaan yang ada dari segi apapun. Komunikasi antara aku dengan dia pun berjalan dengan lancar lancar saja, kadang kita smsan atau video call jika memang sempat. Semua berjalan lancar, bahkan terkadang aku suka bertemu dengannya di tempat lain untuk sekedar makan malam, nonton, ataupun jalan-jalan keliling Jakarta. Walaupun jika berkomunikasi secara langsung, dia pasti menggunakan notes nya. 

Sampai akhirnya skripsiku selesai dan aku pun wisuda, dia benar – benar menemani perjalan skripsiku. Pantas saja, aku selalu semangat dengan skripsi yang bagi sebagian orang itu adalah penderitaan mahasiswa tingkat akhir.

- Oh iya Nat, aku mau kasih tau kamu satu hal.

“Iya, ada apa Chand?”

- Sebenarnya, Smile Café itu adalah bisnis keluarga ku.

“Oh yaa?? lalu kenapa kamu jadi barista di café itu?”

- Menjadi barista adalah kesukaanku, aku senang bisa membuat orang tersenyum setiap kali mereka menyeruput kopi buatanku. Makanya, itu kenapa namanya “smile Café” karena orang akan selalu tersenyum setelah minum kopi disitu karena bahagia bisa menikmati hidup dengan waktu yang singkat, seperti minum kopi kesukaan mereka.

Chandra, lagi dan lagi dia membuatku kagum. Walaupun dia adalah orang yang cukup kaya dan mapan, dia tidak pernah sombong ataupun gengsi untuk menempatkan dirinya dibawah. Aku selalu suka bagaimana caranya dia bekerja, untuk membuat orang – orang merasa bahagia berada di café itu. Termasuk aku.

Sudah bulan ke-9 aku dekat dengan Chandra, usia kita memang terpaut perbedaan 6 tahun. Dia jauh lebih dewasa dibandingkan aku. Sepertinya aku mulai jatuh cinta dengan Chandra, tapi aku tidak pernah berani untuk mengungkapkannya, aku fikir biarlah ini aku simpan baik-baik.
Hampir dua minggu tiba- tiba Chandra tidak ada kabar, aku mencarinya ke café juga tidak ada yang mau memberitahuku dia berada dimana.

Tiba - Tiba ada sms masuk dari Chandra..

Chandra:
Nat, How are you? Maaf sekali ya aku tidak ada kabar belakangan ini. Apakah kamu sibuk sore ini? Aku ingin bertemu, sebentar saja barangkali. Ada yang ingin aku bicarakan. Kamu langsung saja ke café ya aku tunggu.See you..

Ada apa ini? Dia tiba – tiba sms lalu ingin membicarakan suatu hal, sepertinya hal itu benar – benar penting.

Setibanya di café, aku menghampiri Chandra yang duduk di meja favorite-ku. Kenapa meja itu selalu punya banyak sekali cerita ya Tuhan…

“Hai Chand, sudah lama ya? Maaf jalanan ibu kota hari ini jahat sekali. Macet pak hehehe”

- Belum kok, baru sekitar 15 menit aku disini. Kamu mau pesan apa? Nanti biar aku buatkan.

“Hmmm… Double Espresso boleh deh satu ya.. terimakasih.. “

- Wait yah, I’ll be back.

Setelah secangkir double espresso itu mendarat di mejaku, Chandra menatapku serius. Sepertinya benar, ada yang ingin ia sampaikan .

“Tadi katamu ada yang ingin kamu bicarakan denganku, ada apa Chand? Sepertinya serius sekali.”

-Nat, sepertinya kedekatan kita hanya bisa sampai sini saja. *Chandra menatapku nanar*

“Loh… Loh.. ada apa ini? Kenapa tiba – tiba kamu mau menjauhiku?”

-Sebenarnya, kenapa aku menghilang dua minggu belakangan ini karena aku sedang mengurus pernikahanku, Minggu besok aku menikah. Jujur, ini bukan keinginanku. Aku dijodohkan oleh orang tuaku. Aku tidak bisa menolak mereka, aku sudah mencoba tapi aku gagal.

“Ta.. Tapi… aku mulai mencintaimu, Chand!” *air mataku sudah tidak terbendung lagi mendengarnya*

Hatiku hancur.. benar – benar hancur. Aku tidak menyangka akan seperti ini jadinya, tapi aku menghargai keputusan Chandra untuk menjalankan perintah orang tua nya, mungkin sebenarnya bisa saja dia pergi dari rumah untuk menolak perjodohan itu. Tapi aku sangat mengenal Chandra, dia bukanlah tipe orang pembangkang seperti itu. Apalagi didalam agamanya tidak diajarkan untuk seperti itu. Chandra terlalu baik.

- Maaf, Nat. Aku tau ini sangat menyakitimu, aku tidak bermaksud begitu tapi aku juga tidak bisa berbuat banyak.

“Baiklah aku mengerti, jika itu memang keputusanmu. Aku hargai itu, semoga kamu bisa bahagia dengan wanita itu.”

Ada kecewa dalam diriku yang tergambar jelas saat aku menatap Chandra, begitupun dengannya. Ia seperti menyesali hal ini karena baginya, ia telah menyakitiku.

- Kamu baik-baik ya, maaf jika aku menyakitimu. Terimakasih atas segalanya. Selama aku mengenalmu, aku bahagia. *Chandra mengusap kepalaku lembut dan aku hanya membalas senyum tanpa bisa berkata – kata apapun lagi*

Setelah itu, aku sengaja tidak hadir dalam pesta pernikahannya. Aku tidak sanggup melihat semuanya terjadi didepan mataku.

Lalu, beberapa bulan setelah itu aku memutuskan untuk pindah ke Jerman melanjutkan pendidikan S2-ku disana hingga selesai dan aku kerja paruh waktu untuk mengisi waktu selain kuliah.

Ini adalah langkah yang kulakukan untuk melupakan Chandra, walaupun sejujurnya setelah tujuh tahun aku di Jerman rasanya sangat sulit untuk benar- benar menghapus Chandra dari pikiranku. Setiap aku berusaha untuk melupakannya, aku selalu teringat masa – masa indah kita. Perbedaan yang membuat aku berani untuk terus mendekati Chandra, semua hal tentang Chandra masih tergambar jelas di memori pikiran dan hatiku.

Tuhan… mengapa sulit sekali melupakannya? Padahal jelas – jelas kami mempunyai perbedaan yang harusnya itu adalah alasan yang paling kuat untuk dapat melupakannya.


Hari ini, aku kembali ke Jakarta. Karena rasanya percuma saja jika aku di Jerman tidak bisa melupakan Chandra. Lagipula aku sangat merindukan orang tuaku.

Satu minggu setelah aku sampai di Jakarta, aku memberanikan diri untuk datang ke café itu. Sungguh bodoh memang aku, malah semakin membuka lebar pintu mengenang masa – masa dengan Chandra. Namun hati dan pikiran ini tidak bisa terus menerus berdusta bahwa aku sangat merindukan pria itu beserta segala kenangannya.

Aku masuk dan memesan segelas Double Espresso, persis seperti kopi terakhir yang aku minum dengan Chandra. Tempat itu selalu menjadi tempat yang sangat penuh kenangan. Beruntung meja favorite-ku kosong, jadi langsung saja aku duduk disitu.

“Ini Nat kopinya.. aku fikir kamu tidak akan pernah kembali ke café ini lagi sejak kejadian waktu itu.”

Terkejut bukan main, Chandra yang mengantarkan minumanku, dan… dia bisa bicara? Astaga Tuhan, apalagi ini?

 “Loh.. Chandra.. kamu…”



“Kenapa? Kaget ya aku yang mengantarkan kopimu? Tadi mas – mas kasir yang dulu sering meledekmu sekarang dia sudah menjadi manager disini, dan dia bilang bahwa kamu datang, jadi apa salahnya kalau aku yang menyambutmu”

Aku masih sangat terkejut menatap Chandra, dari segi penampilan dia tidak ada yang berubah. Masih sangat persis seperti dulu, hanya saja sekarang dia benar – benar bisa bicara.

“Kamu kenapa menatapku seperti itu? Masih kaget ya? Hahaha kaget kalau sekarang aku bisa bicara? Mau aku ceritain gimana akhirnya aku bisa seperti ini?”

Aku hanya bisa mengangguk mendengarnya, tanpa benar – benar mengeluarkan sepatah katapun.

“Jadi, dua tahun setelah pernikahan itu istriku hamil, lalu ia meninggal saat melahirkan. Keduanya tidak bisa diselamatkan karena kondisinya sangat lemah pada saat itu. Lalu aku kehilangan mereka. Butuh waktu yang cukup lama untuk aku bangkit dari kehilangan itu. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke luar negeri dan operasi pita suara, kira-kira setahun aku disana dan menyempurnakan operasiku. Karena aku tau, sakitku masih bisa disembuhkan makanya aku memberanikan diri untuk operasi pita suara walaupun kemungkinan untuk bisa kembali itu sangat kecil. Lalu setelah itu aku kembali kesini untuk mencarimu, jujur saja aku tidak pernah berniat melupakanmu. Kamu selalu ada ditempat lain di hatiku, Nat.”

“Lalu?”

Luar biasa sekali, Chandra memang selalu punya sejuta cara untuk membuatku terkejut. Dari mulai awal pertama aku melihatnya sampai detik ini pun rasanya aku masih saja selalu dibuat terkejut olehnya.

“Lalu, aku mencarimu kerumah. Mama mu bilang, kamu sedang melanjutkan pendidikan dan bekerja di Jerman. Tadinya mama mu mau memberikan contact-mu, tapi aku fikir... aku tidak akan menggagumu disana, aku yakin jika suatu saat nanti kamu akan kembali datang ke café ini entah untuk apa dan bersama siapa.”



“Sungguh, kamu bisa menebak segala hal tentangku Chandra. Kamu sangat yakin bahwa aku akan kembali kesini dan kamu tau aku benar – benar tidak bisa melupakanmu. Tapi, kita masih tetap saja berbeda Chandra..”



“Natasha.. Tuhan tidak pernah mengajarkan kita untuk membenci ataupun putus asa dalam segala perbedaan. Aku yakin, kita dipertemukan disini kembali karena perbedaan itu.. Karena.. aku sesungguhnya mencintaimu Nat…” *Chandra mengecup keningku*

Tuhan, berikan aku kekuatan sekali lagi untuk menatap dalam matanya dan mendengarkan setiap ucapannya.

“You know, I still love you too Chandra..”

Sejak saat itu hubungan kami pun menjadi sangat membaik. Dan sampai pada saatnya, kami pun menikah. Dengan perbedaan yang masih tetap ada.

Karena aku dan Chandra yakin bahwa, kita dipersatukan oleh perbedaan. Tuhan tidak pernah mengajarkan kita menyerah dan benci pada perbedaan. Kita memang berbeda, namun pada cinta, kita sama. 

*by azkagasya